"Dari Abu Sa'id al-Khudri, berkata: "Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat di masjid kemudian ia berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang berdoa kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya' dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridha-Mu, maka aku memohon kepada-Mu, selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau," maka Allah akan meridhainya dan tujuh puluh Malaikat memohonkan ampun baginya."
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (10729), Ibn Majah (770), Ibn al-Sunni dalam 'Amal al-Yaum wa al-Laylah, al-Thabarani dalan alDu'a', al-Baihaqi dalam al-Da'awat al-Kabir dan lainnya. Sanad hadits ini dinilai hasan oleh al-Hafizh al-Dimyathi dalam al-Matjar al-Rabih, al-Hafizh al-Maqdisi sebagaimana dikemukakan oleh muridnya nl-Hafizh al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib, al-Hafizh al-'Iraqi (725-806 H/1325-1403 M) dalam al-Mughni, al-Hafizh Ibn Hajar dalam Nataij al-Afkar dan lain-lain. Bahkan al-Hafizh al-Bushiri berkata dalam Mishbah al-Zujajah (1/99) bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al- Imam Ibn Khuzaimah dalam Shohih-nya sehingga dapat disimpulkan bahwa hadits ini bernilai shahih menurut Ibn Khuzaimah. Hadits ini menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dengan orang saleh, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Karena kata السائلين dalam hadits tersebut bersifat umum, mencakup mereka yang masih hidup ataupun sudah meninggal. Dalam hadits ini pula Nabi SAW mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan al-dzawat al-fadhilah (seorang nabi atau wali dan orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh. Beliau tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya boleh dan yang kedua juga boleh. Dalam hadits ini, tawassul dengan al-dzawat al-fadhilah ada pada redaksi بحق السائلين عليك dan tawassul dengan amal saleh ada pada redaksi بحق ممشاي إليك
Hadits di atas dinilai hasan oleh para hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam disiplin ilmu hadits) seperti al-Hafizh al-Dimyathi, al-Maqdisi, al-'Iraqi, al-Hafizh Ibn Hajar dan lain-lain, bahkan al-Imam Ibn Khuzaimah menilainya shahih. Akan tetapi Mahrus Ali dalam bukunya, Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik, menilai dha'if jiddan hadits tersebut berdasarkan alasan, bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang lemah.
Dalam hal ini Mahrus Ali berkata:
"Hadits tersebut sangat lemah (dha'if jiddan) karena terdapat seorang perawi bernama Fadhl bin Muwaffaq yang lemah dan Fudhail bin Marzuq, seorang perawi yang selalu berkata benar, tertuduh syi'ah, suka melamun, dan menyampaikan hadits yang tidak tepat." (Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik, Cet ke-4, 2007, hal 30).
Tentu saja kritikan Mahrus Ali terhadap hadits di atas berangkat dari ketidakjujuran dan ketidaktahuan.
Pertama, kalau Mahrus Ali mau jujur, sebenarnya perawi yang bernama Fadhl bin Muwafiaq hanya terdapat dalam sanad Ibn Majah. Sementara dalam sanad Ahmad bin Hanbal, melalui jalur lain yaitu Yazid bin Harun, perawi tsujah dan mutqin (dipercaya dan sempurna dalam keilmuannya).
Kedua, perawi Fudhail bin Marzuq dinilai oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Tcujrib al-Tahdzib (1/448), sebagai perawi yang selalu berkata benar, mengalami kekeliruan menyampaikan hadits, dan tertuduh syi'ah. Komentar al-Hafizh Ibn Hajar terhadap Fudhail bin Marzuq seperti di atas dalam ilmu musthalah. Al-hadits dikategorikan sebagai pernyataan ta'dil dan tautsiq (penilaian positif dan dipercaya terhadap perawi) yang haditsnya dapat dinilai hasan. Oleh karena itu, menurut para hafizh, hadits tersebut bernilai hasan. Agaknya Mahrus Ali tidak memahami terhadap istilah ini sehingga menilai hadits di atas dha'if jiddan dan berlebih-lebihan menilai Fudhail bin Marzuq dengan pernyataan
Dan tentu pula, Mahrus Ali yang mendhaif jiddan-kan hadits tersebut dengan cara yang tidak jujur, tidak ada apaapanya jika kita bandingkan dengan al-Hafizh al-Dimyathi, al-Maqdisi, al-Iraqi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani yang menilai hadits tersebut hasan.
Judul: Bolehnya Bertawassul Dengan Orang Saleh Yang Hidup atau Meninggal
Rating Blog: 5 dari 5
Ditulis oleh Admin
Anda sedang membaca artikel Bolehnya Bertawassul Dengan Orang Saleh Yang Hidup atau Meninggal. Jika ingin mengutip, harap memberikan link aktif dofollow ke URL http://mantankiainu.blogspot.com/2013/09/bolehnya-bertawassul-dengan-orang-saleh.html. Terima kasih sudah singgah di blog ini.
Rating Blog: 5 dari 5
Ditulis oleh Admin
Anda sedang membaca artikel Bolehnya Bertawassul Dengan Orang Saleh Yang Hidup atau Meninggal. Jika ingin mengutip, harap memberikan link aktif dofollow ke URL http://mantankiainu.blogspot.com/2013/09/bolehnya-bertawassul-dengan-orang-saleh.html. Terima kasih sudah singgah di blog ini.
mengapa harus berdebat Alhadits, dan memang Hadits selalu banyak perbedaan, kembalilah kepada AlQuran, masalah tawassul bacalah surat Azzumar ayat 2-3 apa maksudnya Yuqorribunii ilallaahi zulfa, apakah termasuk alaa lillaahid diinul khoolish, ataukah bertauhid dengan menggunakan perantara tersesat, tolong pakar agama berikan penjelasan
ReplyDeletehadis adalh pelengkap ajaran agama.tanpa hadis agama islam tak lengkap da tak boleh di amal atau di fahami sepenuh nya.
Deletehehehe bang Jimmi Roy, belajar lg lah ttg agama secara benar...
Deletebelajar agama tuh di pakarnya "Ulama" jangan di internet, tar jadi keblinger...
setau saya Tawassul dilakukan dengan suatu wasilah atau segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sebab atau perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah agar suatu permohonan dapat dikabulkan.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan carilah jalan (wasilah/perantara). (QS al-Maidah: 35)
jadi tawassul bukan di surat azzumar seperti yg anda katakan.... (koment boleh bang, tp jgn menyesatkan, kasihan yang baru belajar agama, bisa tersesat seperti anda)
Payah nih para pakar agama gk ada yg jawab atau memberi penjelasan apa yg di minta pak Jimmy Roy...(apa karena gk ada duitnya kalee ya...????) hahahahaa...
ReplyDeleteemang bener ngkali..kok ada ng-nya..artinya mikir dulu, apa aku ketembak nggak ya, padahal hadits pertama diatas, rasul berdoa ketika masih hidup, dan apakah yang sudah mati bisa berdo`a dimintai tolong, kejam amat sih manusia orang udah maot masih juga dimintai tolong, bang Nayon kalu lagi mati fikiran alias(ngelamun) aja ditanya nggak nyahutin, paling kaget doang, eh...apa lu kata apalagi yang udah DARMO, yang nggak masuk iman minta karomah sama yang udah nggak ada...bisa-bisa setan yang jawaaaaaaaaaaabbbbbbbb, gimana nih para kyai.....ntar dulu dah ngurusin label halal......bener nggak bang Nayon
ReplyDeleteanda muslim bukan? kl bukan jangan sok nyalahin ulama' deh...hanya orang tolol yang bisa ngomong macam gt...
Deletesini gw ajarin ttg Islam yang benar..
Tawassul dilakukan dengan suatu wasilah atau segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sebab atau perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah agar suatu permohonan dapat dikabulkan.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah, dan carilah jalan (wasilah/perantara). (QS al-Maidah: 35)
Tawassul bisa dilakukan dengan wasilah amal dan wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah. Wasilah dengan amal (al-Tawassul bi al-‘Amal al-Salih) di antaranya ialah dengan iman. Imam sebagai wasilah yang menjadikan menusia dekat kepada Allah SWT. Ibadah dan amal kebajikan juga dapat menjadikan wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amar ma’ruf dan nahi mungkar juga termasuk wasilah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena itu, berdo’a dengan memakai wasilah yang pertama ini direkomendasikan oleh para ulama.
Tawassul yang kedua dilakukan dengan wasilah orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para nabi, para rasul, sahabat-sahabat Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para shuhada, para ulama’ dan para wali. Semua doa dan permintaan tetap ditujukan kepada Allah. Bertawassul dengan wasilah orang-orang yang dekat kepada Allah maksudnya adalah berdoa dan meminta kepada Allah SWT di sisi orang yang dicintai oleh Allah, atau menghadap orang-orang yang mendapatkan tempat terhormat di sisi Allah.
Bertawassul kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dapat dilakukan pada saat mereka masih hidup (al-Tawassul bi al-Ahya’) atau sudah meninggal dunia (al-Tawassul bi al-Amwat. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa manusia yang telah meninggal dunia masih aktif berkomunikasi dengan yang masih hidup. Rasulullah SAW dan para ahli kubur lainnya dapat menjawab salam saudara-saudara mereka yang mengucap salam. Rasulullah SAW bersabda:
Siapa pun yang mengucapkan salam kepadaku, Allah akan mengembalikan ruhku untuk menjawab salam itu. (HR Abu Dawud)
Bertawassul dengan orang-orang yang dekat dengan Allah SWT dimaksudkan agar mereka ikut memohon atas apa yang diminta kepada Allah. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para nabi, para rasul dan para salihin, pada hakekatnya tidak bertawassul dengan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shalih. Karenanya, bertawassul itu tidak dengan orang-orang yang ahli ma’siat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.
Tidak ada perbedaan antara bertawassul kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah pada saat mereka masih hidup atau sudah meniggal dunia. Tujuan bertawassul adalah mengharap berkah dari orang-orang yang dicintai oleh Allah sementara semua pemberian dan kemanfaatan hanyalah kepunyaan Allah. Allahlah yang akan mengabulkan semua keinginan hamba-Nya yang berdoa.
Orang-orang yang telah meninggal akan rusak dan hancur badannya atau jasadnya saja, sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Mereka berada di alam barzah. Suatu riwayat menyebutkan bahwa di alam barzah Nabi Muhammad SAW menyaksikan perilaku umatnya di dunia. Jika umatnya berbuat baik maka beliau mengucap hamdalah, jika mereka berbuat kejelekan maka nabi memintakan ampun kepada mereka.
Penjelasan hadits di atas juga didukung oleh riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW selalu menyampaikan salam setiap melewati kubur. Ini menunjukkan bahwa ahli kubur pun menjawab salam yang diucapkan oleh orang yang masih hidup. Rasulullah SAW menyampaikan salam:
“Keselamatan atas engkau wahai ahli kubur, mudah-mudahan Allah mengampuni kami dan mengampuni kalian, kalian pendahulu kami dan kami mengikuti jejak kalian.
kl masih belum paham juga ya kebangetan.
klo pegen penjelasan itu pantasnya kmu datang. mendatangi jawaban itu.. mbok yo mikir.. murid itu butuh guru.. bukan guru yg butuh murid
ReplyDeletejim roy iki ngaji qur'ane anggo terjemahan sama make teks, padahal kalo jim roy tau jamannya Rosulullah masih hidup Al-Qur'an belum berbentuk Mushaf, baru pada jamannya Khalifah Utsman bin Affan terbentuklah Mushaf dan baru 7 mushaf, itu juga belum ada harakatnya. Kayaknya kalo ada jim roy waktu itu sahabat utsmanpun akan disebut bid'ah karena mengadakan hal-hal baru dalam agama dengan membuat mushaf. Karena jim roy adanya sekarang maka jim roy pake ayat yg sudah diterjemahkan untuk membid'ahkan yang lainnya dan itupun dengan terjemahan. Ikuti Rosulullah dengan mengikuti ulama, tapi dasar jim roy mikirnya ya cupet lagi, ulamanya mesti tidak boleh bertentangan dengan qur'an dan sunnah Rosul donk, ya jelas bertentangan kalo pemahaman qur'an dan sunnah Rosulnya pake pemahaman jim roy dari terjemahan...hahaha jim roy ngaji dulu yang bener baru ngomong ayat, ngajine rono loh sama kyai yang jelas sanad ilmunya.
ReplyDeleteRek rek iki low tonggoku
ReplyDeleteWonge rodok pegel
Perintah Tawassul (Ibtighaul Wasilah) tersebut - antara lain - ditegaskan pada firman Allah Ta’ala :
ReplyDeleteيآأيّهَا الذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ ، وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ، وَجَاهِدُوا فيِ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
(المائدة 35)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, serta berjihadlah di jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah: 35)
Pada ayat ini ada tiga perintah Allah Ta’ala yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman untuk kebahagiaan mereka sendiri. Masing-masing dari perintah-perintah tersebut mempunyai pengertian prinsip yang saling berkaitan:
a. Perintah “Taqwa” yang pada prinsipnya berarti meninggalkan semua yang dilarang. Meskipun melaksanakan perintahpun termasuk “Taqwa juga”.
b. Perintah “Ibtighaul Wasilah” yakni mencari jalan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala, yang pada prinsipnya melaksanakan semua yang diperintahkan. Meskipun meninggalkan larangan itupun pada hakekatnya termasuk “Ibtighaul Wasilah” juga. Ibtighaul Wasilah ini istilah Al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan sebutan “Tawassul”.
Dengan demikian, maka “Perintah Ibtighaul Wasilah” pada ayat Al-Maidah diatas merupakan “Taqrir” atau pengukuhan bagi “Perintah Taqwa” sebagaimana ditegaskan dalam Tafsir Gharaibul Qur’an : 6/89.
c. Perintah “Jihad di jalan Allah” yang pada prinsipnya di sini berarti melawan keinginan nafsu dalam melaksanakan kedua perintah sebelumnya itu tadi.
( Lihat Tafsir Ruhul Ma’ani:6/124-Tafsir Gharaibul Qur’an : 6/89- Hasyiatul Jamal:1/488).
Semuanya hampir samà tebak tebakan,belum tentu semuanya bena,solusinya,mending jangan tawasul deh,sepertinya hukumnys abu2,toh tidak dengan tawasulpun Allah pasti akan mengabulkan doa kita.ribet amat.
ReplyDeletesemoga Allah memberikan Hidayahnya kepada kita semua.
ReplyDelete